Telah kita ketahui begitu banyak keutamaan untuk setiap mereka yang menuntut ilmu agama. Rasulullah ﷺ bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 224).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah : 11).
Dan Rasulullah ﷺ bersabda,
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)
مَنْ سَلَكَ طَرِيْـقًـا يَبْـتَغِي فِيْهِ عِلْمًا سَهَّـلَ اللهُ لَهُ طَرِيْـقًـا إِلَى الْجَنَّـةِ، وَإِنَّ الْمَـلاَئِـكَةَ لَتَضَعُ أَجْـنِحَـتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَصْنَعُ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَـسْـتَغْـفِـرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَـا وَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ حَتَّى الْحِـيْتَـانُ فِي الْمَـاءِ .
“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah memudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya para Malaikat membentangkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha atas apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya orang yang berilmu benar-benar dimintakan ampun oleh penghuni langit dan bumi, bahkan oleh ikan-ikan yang berada di dalam air.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3641)).
Kita hidup di zaman dimana Allah sangat memudahkan kita untuk mempelajari ilmu agama. Dulu, Jabir bin Abdillah melakukan perjalanan satu bulan untuk mencari satu hadits. Dulu, Yahya bin Yahya Al-laitsi, pergi dari Andalusia, Spanyol ke Madinah untuk belajar ke Imam Malik. Luar biasa perjuangan mereka. Kini, cukup dengan smartphone dengan kuotanya dan dua jari saja cukup untuk membawa kita ke dunia maya, mencari ribuan kitab-kitab untuk kita pelajari.
Tapi pertanyaannya, dengan segala kemudahan yang telah Allah berikan kepada kita, kenapa kualitas ilmu dan agama kita tidak sebanding dengan mereka? Kenapa ketaqwaan dan keimanan kita tidak lebih baik Jabir bin Abdillah? Tidak lebih baik dari Yahya bin Yahya?
Jawabannya terletak pada keberkahan ilmu kita.
Perlu kita telaah kembali tujuan utama kita menghadiri kajian-kajian dan majelis ilmu. Tujuan kita tidaklah semata-mata untuk menambah ilmu saja, tapi agar kita juga bisa mengamalkan ilmu tersebut. Agar ilmu yang kita dapatkan benar-benar berkah dan bermanfaat. Satu hadits yang kita ketahui dan kita amalkan itu lebih baik daripada ratusan hadits kita hapal hanya teksnya saja tanpa ada pengamalan dalam kehidupan kita. Itulah ilmu yang sia-sia.
Imam Syafi’i memiliki nasehat berharga, beliau berkata,
“Ilmu adalah yang bermanfaat dan bukan hanya dilafalkan” (Siyar A’lamin Nubala, 10 : 89).
Ilmu bukanlah apa yang banyak kita ingat, yang banyak kita hafal, bukan juga banyaknya goresan tinta dalam catatan-catatan kita. Ilmu adalah yang bermanfaat, yang kita amalkan dan sibukkan dengan diri kita sendiri, bukan ilmu yang kita gunakan untuk ‘menembak’ dan mencari kesalahan-kesalahan orang lain. Dan hal ini, inilah yang langka di antara para penuntut ilmu di hari ini.
Semoga Allah selalu memberikan kita ilmu yang bermanfaat, dan menjauhkan kita dari ilmu yang tidak bermanfaat.
Bagaimana agar kita mendapatkan keberkahan dalam ilmu-ilmu kita? Ada dua kunci utama agar kita bisa mendapatkan keberkahan ilmu:
1. Menata Hati
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
… إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati…” (QS. Qaf : 37)
Perumpamaan hati dengan ilmu barat gelas dengan air. Gelas yang kotor, diisi dengan air sebersih apapun, tetap tidak akan bersih. Maka bersihkanlah ‘gelas’ kita, niscaya ilmu akan mudah meresap ke hati. Jadikanlah hati kita hati yang ikhlas, yang mudah bersyukur, yang mentauhidkan Allah, hati yang selalu teringat dengan firman Allah alam ya’lam bi annallah yaraa, hati yang selalu ingat bahwa setiap perbuatan maksiat pasti akan dicatat untuk diminta pertanggung jawabannya.
Dengan menata hati kita juga meluruskan tujuan kita untuk menuntut ilmu. Tujuan kita untuk belajar adalah untuk mengamalkan ilmu itu pada diri kita sendiri. Juga untuk menghidupkan syariat Allah dan sunnah Rasulullah.
Dan salah satu cara untuk menata hati dan menyinarinya dengan cahaya adalah dengan memperbaiki niat kita dalam menuntut ilmu. Niatkanlah diri kita belajar untuk mengangkat kebodohan dari diri kita dan selalu tanamkan sifat tawadhu dalam diri kita. Karena sejatinya semakin banyak ilmu yang kita pelajari, semakin diri kita merasa rendah dan tidak ada apa-apanya. Bukan merasa lebih baik dan lebih taat dari orang lain.
2. Memperbaiki Adab
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Seorang penuntut ilmu, jika tidak menghiasi diri dengan akhlak yang mulia, maka tidak ada faidah menuntut ilmunya”. (Syahrul Hilyah Fii Thalabul Ilmi).
Ibnu Sirin berkata,
“Para Salaf mempelajari adab sebagaimana mereka mempelajari ilmu” (Tadzkiratus Saami’ Wal Mutakallim).
Ibnu Mubarak rahimahullah berkata,
“Mereka (para ulama salaf) memulai pelajaran dengan mempelajari adab terlebih dahulu kemudian baru ilmu” (Ghayatun-Nihayah fi Thobaqotil Qurro I/446).
Habib bin asy-Syahid berkata kepada anaknya: “Wahai, anakku, pergaulilah para fuqaha’ dan ulama; belajarlah dan ambillah adab dari mereka. Sesungguhnya hal itu lebih aku sukai daripada banyak hadits.” (Tadzkiratus Saami’ Wal Mutakallim).
Tanpa akhlak dan adab, ilmu kita takkan bisa menyelamatkan kita. Tanpa kelembutan hati dan keindahan akhlak, dakwah kita tidak akan diterima. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits,
فَإِنَّ الرِّفْقَ لَمْ يَكُنْ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ نُزِعَ مِنْ شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya lemah lembut tidaklah ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan memperkeruhnya” (HR. Abu Dawud, sanad: shahih).
Maka jangan sampai hadirnya ilmu pada diri kita menjadikan kita bersikap keras pada orang lain. Kelembutan akan menghiasi dakwah islam, dan membawa keberkahan ilmu tidak hanya pada kita tapi juga pada orang lain.
Terdapat sebuah kisah menarik tentang pemuda bernama Dzaadzan, seorang peminum khamr dan pemusik. Suatu hari dzaadzan, pergi ke menjumpai Abdullah ibnu Mas’ud. Ibnu Mas’ud berkata: “Marhaban (selamat datang) orang yang Allah mencintainya. Duduklah”. Lalu Ibnu Mas’ud pun menghidangkan kurma padanya.
Siapa yang mengira bahwa Abdullah bin Mas’ud, salah seorang sahabat Rasulullah, ketika bertemu dengan Dzaadzan yang seorang ahli maksiat akan mengucapkan “Marhaban orang yang Allah mencintainya” kepadanya? Melihat kelembutan akhlak dan adab dari Ibnu Mas’ud, maka Dzaadzan pun bertaubat. Dan jadilah Dzaadzan termasuk orang-orang yang terbaik dari kalangan tabi’in, dan salah seorang ulama yang terkemuka. (Hiyatul Aulia 4/199, Bidayah wan Nihayah 9/74 dan Siyar ‘Alamun Nubala 4/280 dan 4/28).
Semoga Allah selalu menjaga kita dan menjaga hati kita agar muncul keberkahan dalam Ilmu kita. Semoga kita selalu diberi hidayah untuk istiqomah dalam niat yang lurus dan dalam akhlak yang baik. Semoga ilmu kita bermanfaat.
Wallahu a’lam bishshawab
Ringkasan Tabligh Akbar
“Keberkahan Ilmu”
Oleh : Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri, Lc. MA
5 Muharram 1439 H / 24 September 2017
Masjid Al-Jihad, Jl. Abdullah Lubis, Medan
0 Komentar