Ringkasan Kajian Al-Adab al-Mufrad

Ringkasan Kajian Kitab Al-Adab Al-Mufrad – Hadits Ke-8

25th Agustus 2017
Rezky Ilham

Bismillah

عَنْ طَيْسَلَةَ بنِ مَيَّاسٍ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّجَدَاتِ ، فَأَصَبْتُ ذَنُوْبًا لاَ أَرَاهَا إِلاَّ مِنَ الْكَبَائِرِ، فَذَكَرْتُ ذَالِكَ ِلابْنِ عُمَرَ. قاَلَ: مَا هِىَ؟ قلُتْ:ُ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: لَيْسَتْ هَذِهِ مِنَ الْكَبَائِرِ، هُنَّ تِسْعٌ: اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَقَتْلُ نِسْمَةٍ، وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَةِ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَإِلْحَادُ فِي الْمَسْجِدِ، وَالَّذِيْ يَسْتَسْخِرُ ، وَبُكَاءُ الْوَالِدَيْنِ مِنَ الْعُقُوْقِ، قاَلَ: لِي ابْنُ عُمَرَ: أَتَفَرَّقُ النَّارَ ، وَتُحِبُّ أَنْ تَدْخُلَ الْجَنَّةَ؟ قُلْتُ: إِيْ، وَاللهِ! قَالَ: أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟ قُلْتُ: عِنْدِيْ أُمِّىْ. قَالَ: فَوَاللهِ! لَوْ أَلَنْتَ لَهَا الْكَلاَمَ، وَأَطْعَمْتَهَا الطَّعَامَ، لَتَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مَا اجْتَنَبْتَ الْكَبَائِرَ.

Dari Thaisalah bin Mayyas , ia berkata “Ketika tinggal bersama An Najdaat, saya melakukan perbuatan dosa yang saya anggap termasuk dosa besar. Kemudian saya ceritakan hal itu kepada ‘Abdullah bin ‘Umar. Beliau lalu bertanya, ”Perbuatan apa yang telah engkau lakukan?” ”Saya pun menceritakan perbuatan itu.” Beliau menjawab, “Hal itu tidaklah termasuk dosa besar. Dosa besar itu ada sembilan, yaitu mempersekutukan Allah, membunuh orang, lari dari pertempuran, memfitnah seorang wanita mukminah (dengan tuduhan berzina), memakan riba’, memakan harta anak yatim, berbuat maksiat di dalam masjid, menghina, dan [menyebabkan] tangisnya kedua orang tua karena durhaka [kepada keduanya].” Ibnu Umar lalu bertanya, “Apakah engkau takut masuk neraka dan ingin masuk surga?” ”Ya, saya ingin”, jawabku. Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” “Saya masih memiliki seorang ibu”, jawabku. Beliau berkata, “Demi Allah, sekiranya engkau berlemah lembut dalam bertutur kepadanya dan memasakkan makanan baginya, sungguh engkau akan masuk surga selama engkau menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 8, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani. Lihat Ash Shahihah 2898)

Hadits ini memiliki beberapa pelajaran yang dapat ditarik darinya:

1. An-Najdaat merupakan salah satu firqah khawarij.

Seperti sebagian firqah-firqah yang menyimpang, firqah ini dinamai berdasarkan orang yang pertama kali mendirikannya yaitu Najdah bin ‘Amir Al-Khariji, dia memiliki pemahaman khawarij. Salah satu pemikiran menyimpang yang dimiliki Najdah bin ‘Amir adalah ia meyakini bahwasannya setiap pelaku dosa kecil maupun besar telah murtad dan keluar dari Islam, oleh karena itu para pengikutnya tidak boleh mengerjakan dosa apapun. Inilah perlakuan ghuluw yang dilakukan oleh firqah ini karena tidak mungkin seseorang itu luput dari dosa.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Seluruh anak Adam berdosa, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat” (HR. Ibnu Maajah no 4241, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

Pemikiran mereka jelas bertentangan dengan Agama Islam karena Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tidak menyatakan bahwa pelaku dosa telah murtad. Pelaku dosa hanya bisa murtad apabila mereka menghalalkan dosa tersebut setelah Allah ‘Azza wajalla dan Rasulnya Shallallahu’alaihi wasallam mengharamkannya.

2. Teman dan lingkungan sekitar sangat berpengaruh terhadap kehidupan agama seseorang.

Karena teman-teman Thaisalah memiliki pemahaman Khawarij Najdah, yang menyatakan kafirnya pelaku dosa kecil dan besar, akhirnya dia pun terpengaruh dan sulit untuk membedakan antara dosa-dosa kecil dan besar. Ini menunjukkan besarnya pengaruh teman terhadap diri seseorang. Pemikiran teman akan memengaruhi pemikiran seseorang, apalagi bila pemikiran tersebut berasal dari teman-teman dekat. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menyuruh ummatnya untuk mencari teman yang baik-baik.

Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam bersabda,

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang itu tergantung pada agama teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang dia jadikan teman karib”. (HR. Abu Daud no. 4833, Tirmidzi no. 2378, Ahmad 2/344, dari Abu Hurairah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shohihul Jaami’ 3545).

Dalam sebuah hadits Rasululah Shallallahu‘alaihi wasallam menjelaskan mengenai peran dan dampak seorang teman dalam sabda beliau :

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَة

Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)

Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah mengatakan : “Hadits ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Hadits ini juga mendorong seseorang agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”(Fathul Bari 4/324)

Jikalaulah seseorang itu merasa dirinya bukan termasuk orang yang baik, maka hendaknya dia berusaha mencari teman-teman yang baik dengan harapan dia dapat terpengaruh dengan kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh teman-temannya tersebut.

Imam Qatadah Rahimahullahu berkata :
“Sesungguhnya kami, demi Allah belum pernah melihat seseorang menjadikan teman buat dirinya kecuali yang memang menyerupai dia maka bertemanlah dengan orang-orang yang shalih dari hamba-hamba Allah agar kamu digolongkan dengan mereka atau menjadi seperti mereka.”(Al Ibanah 2/477 no. 500)

3. Ketika seseorang memiliki masalah dan dia bertanya kepada orang yang tepat, maka itu adalah taufiq dari Allah ‘Azza wajalla.

Betapa banyak orang yang memiliki masalah namun bertanya kepada orang yang salah. Tatkala seseorang ingin menjadi lebih baik, namun apabila dia tidak bertanya pada orang yang tepat, tidak jarang dia jatuh kepada kebid’ahan atau dosa yang jauh lebih buruk.

Seperti kisah seseorang yang pernah membunuh 99 orang dan ingin bertaubat, namun bertanya kepada seorang ahli ‘ibadah yang tidak memiliki ‘ilmu. Ahli ‘ibadah itu mengatakan bahwa orang itu tidak memiliki pintu taubat, maka orang itu pun membunuh sang ahli ‘ibadah dan genaplah orang yang dibunuhnya menjadi 100. (HR. Bukhari dan Muslim no. 2766.)

Salah satu ciri khawarij adalah mereka menjauhkan para pemuda dari ‘Ulama sehingga mereka tidak bertanya kepada para ‘Ulama yang sudah mumpuni ‘ilmunya. Namun demikian, walaupun Thaisalah berteman dengan para khawarij, tatkala Thaisalah memiliki hajat untuk bertanya, Allah Subhanahu wata’ala memberinya taufiq dan menggerakkan hatinya sehingga ia bertanya kepada orang yang paling tepat, yaitu ‘Abdullah bin ‘Umar. Oleh karena itu seseorang hendaknya senantiasa berdoa kepada Allah untuk diberikan taufiq dalam menimba ‘ilmu agama dan senantiasa bersyukur atas taufiq yang telah dikaruniakan oleh Allah kepadanya.

4. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu tidak membatasi jumlah dosa besar menjadi sembilan.

Perkataan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu sebagai berikut

”…هُنَّ تِسْعٌ…”

“…dosa besar itu ada sembilan…”
Tidak bermaksud membatasi jumlah dosa besar itu hanya sembilan, akan tetapi makna dari perkataan beliau Radhiyallahu’anhu tersebut adalah “…di antara dosa-dosa besar adalah…”

5. Menyakiti hati orang tua sudah cukup bagi seseorang untuk dikatakan sebagai pelaku dosa besar.

Ini adalah perkara yang banyak diremehkan orang-orang. Walaupun terlihat remeh namun sebenarnya ini adalah perkara yang besar di dalam Agama Islam. Allah secara langsung, melalui firman-Nya, memerintahkan para hamba-Nya untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya.

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kalian kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah kalian kembali (QS. Luqman : 14)

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan katakanlah, Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu kecil (QS. Al-Isra : 24)

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdo’a “Ya Rabb-ku, tunjukilah aku untuk menysukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridlai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (QS. Al-Ahqaaf : 15)

Bahkan Allah ‘Azza wajalla, dalam firman-Nya, menyandingkan perintah berbakti kepada kedua orangtua kepada perintah untuk mentauhidkan Allah.

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepadaNya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut disisimu maka janganlah katakan kepada keduanya ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya (QS. Al-Isra : 23)

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

Dan sembahlah Allah dan janganlah menyekutukanNya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak….. (QS. An-Nisa : 36)

Tauhid adalah perintah yang paling utama untuk dikerjakan oleh setiap hamba dan syirik adalah larangan yang terberat untuk ditinggalkan oleh setiap hamba. Setelah kedua perintah ini, Allah ‘Azza wajalla meneruskan firman-Nya agar para hamba-Nya berbakti kepada kedua orangtua. Ini menunjukkan bahwa, hendaknya seorang muslim menaruh perhatian yang serius dan berhati-hati terhadap perkara ini. Jangan sampai seseorang itu menyakiti hati orangtuanya dengan membantah mereka, membuat mereka khawatir, enggan melakukan perintah mereka walaupun sepele atau karena tidak memerdulikan mereka.

Sudah semestinya kaum muslimin berlomba-lomba untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Gunakanlah setiap kesempatan yang ada untuk mengamalkannya. Perhatikanlah sikap salah satu ‘Ulama terdahulu terhadap orang tuanya. Begitu besarnya perhatiannya terhadap masalah ini.

Haiwah bin Syuraih adalah seorang ulama besar, suatu hari ketika beliau sedang mengajar, ibunya memanggil. “Hai Haiwah, berdirilah! Berilah makan ayam-ayam dengan gandum.” Mendengar panggilan ibunya beliau lantas berdiri dan meninggalkan pengajiannya. (Diambil dari al-Birr wasilah, karya Ibnu Jauzi)

Haiwah bin Syuraih adalah ‘Ulama besar di kampungnya dan orang-orang berdatangan untuk hadir di pengajiannya. Namun hal itu tidak membuatnya menunda perintah ibunya ketika ibunya menyuruhnya melakukan sesuatu.

6. Berbakti kepada orangtua memiliki beberapa keutamaan.

Perhatikan perkataan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu sebagai berikut:

“…Demi Allah, sekiranya engkau berlemah lembut dalam bertutur kepadanya dan memasakkan makanan baginya, sungguh engkau akan masuk surga selama engkau menjauhi dosa-dosa besar.”

Hal di atas menunjukkan keutamaan berbakti kepada orangtua, yang mana keutamaannya adalah terbuka lebarnya pintu surga bagi sang anak. Orangtua, terutama yang sudah tua renta, sangat perlu kepada pertolongan anaknya dan anak sangat perlu untuk bersabar dalam menghadapinya. Permintaan orangtua kadang membuat seorang anak merasa terbebani. Apabila sang anak tidak sabar dalam menghadapinya, maka dia telah menyia-nyiakan pintu surganya namun apabila sang anak senantiasa sabar dalam memenuhi setiap permintaan orangtuanya, maka dapat dipastikan dia akan masuk surga selama dia menjauhi dosa-dosa besar.

7. Berbakti kepada orangtua tidak dapat menghapus dosa besar.

Perkataan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu pada poin sebelumnya juga menunjukkan bahwa berbakti kepada orangtua ternyata tidak dapat menghapus dosa-dosa besar. Apabila seseorang hendak menghapus dosa-dosa besar yang telah ia lakukan, hendaknya ia melakukan taubat nasuha kepada Allah dengan memenuhi syarat-syaratnya.
Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). (QS. At Tahrim: 8)

 

Wallahu a’lam bish-showab

Kajian rutin Kitab Al-Adab Al-Mufrad
Ustadz Ali Nur, Lc
Sabtu, 26 Dzulqa’dah 1438 H / 19 Agustus 2017
Masjid Dakwah USU, Medan

Penulis