Bismillah
عن أبي بُرْدَةَ أَنَّهُ شهد ابن عُمَر, ورجل يمانيّ يطوف بالبيت, حمل أُمَّهُ وراء ظهره يقول:
إِنِّي لَهَا بَعِيْرُهَا الْمُـذِلَّلُ – إِنْ أُذْعِرْتُ رِكَابُهَا لَمْ أُذْعَرُ
ثُمَّ قَالَ : ياَ ابْنَ عُمَرَ أَتَرَانِى جَزَيْتُهَا ؟ قَالَ : لاَ وَلاَ بِزَفْرَةٍ وَاحِدَةٍ، ثُمَّ طَافَ ابْنُ عُمَرَ فَأَتَى الْمَقَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ : يَا بْنَ أَبِى مُوْسَى إِنَّ كُلَّ رَكْعَتَيْنِ تُكَفِّرَانِ مَا أَمَامَهُمَا
صحيح الإسناد
Dari Abu Burdah, ia melihat melihat Ibnu Umar dan seorang penduduk Yaman yang sedang thawaf di sekitar ka’bah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Orang itu bersenandung,
“Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh. Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari.”
Orang itu lalu berkata, “Wahai Ibnu ‘Umar apakah aku telah membalas budi kepadanya?” Ibnu Umar menjawab, “Belum, walaupun setarik Zafrah (nafas) yang ia keluarkan ketika melahirkan.” Beliau (Ibnu ‘Umar) lalu thawaf dan shalat dua raka’at pada maqam Ibrahim lalu berkata, “Wahai Ibnu Abi Musa (Abu Burdah), sesungguhnya setiap dua raka’at (pada makam Ibrahim) akan menghapuskan berbagai dosa yang diperbuat sesudahnya.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 11, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Ada beberapa pelajaran yang dapat ditarik dari hadits ini:
1. Lelaki tersebut tidak menggendong ibunya secara terpaksa
Lelaki Yaman yang diceritakan hadits di atas sama sekali tidak malu ataupun terpaksa dalam menggendong ibunya, bahkan ia bangga dengan apa yang ia lakukan seraya bersenandung syair:
إِنِّي لَهَا بَعِيْرُهَا الْمُـذِلَّلُ – إِنْ أُذْعِرْتُ رِكَابُهَا لَمْ أُذْعَرُ
“Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh. Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari.”
2. Tidak ada amalan seorang anak yang mampu membalas jasa kedua orang tua
Lelaki itu bertanya kepada Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu apakah amalannya tersebut telah membalas jasa ibunya atau tidak. Maka Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu pun berkata:
لاَ وَلاَ بِزَفْرَةٍ وَاحِدَةٍ
“…tidak, bahkan dengan satu zafrah pun”
Zafrah adalah rasa sakit yang membuat seseorang bernapas tersengal-sengal.
Arti perkataan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu di atas adalah sebesar apapun jasa atau kebaikan sang anak kepada ibunya, maka itu tidak akan cukup untuk membalas satu Zafrah pun yang dirasakan seorang ibu tatkala melahirkan sang anak. Sedangkan rasa sakit itu tidak hanya terjadi sekali pada seorang ibu tatkala melahirkan anaknya, namun berkali-kali.
3. Beberapa hukum terkait tawaf
Berbicara tatkala bertawaf itu diperbolehkan. Hal ini ditunjukkan dari percakapan yang terjadi antara lelaki dari Yaman tersebut bersama Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu, padahal keduanya sedang tawaf di baitullah. Berhenti sebentar untuk berbicara juga diperbolehkan, sebagaimana yang disebutkan dalam matan hadits di atas:
… ثُمَّ طَافَ ابْنُ عُمَرَ…
“…Beliau (Ibnu ‘Umar) lalu thawaf…”
Ini menunjukkan bahwa pada awalnya mereka tawaf, namun saat mereka berbincang-bincang, mereka berhenti sejenak dan setelah perbincangan itu selesai, Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu kembali bertawaf.
Namun jika ingin berbicara atau berhenti sejenak, sebaiknya dilakukan saat tawaf dari Hajar Aswad ke Rukun Yamani, dikarenakan adanya doa khusus yang hendaknya dibaca oleh orang yang tawaf dari Rukun Yamani ke Hajar Aswad.
Dari Sahabat Abdullah bin Saib Radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan,
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ مَا بَيْنَ الرُّكْنَيْنِ (رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ)
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam membaca doa (Ya Allah berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari siksa api neraka) antara rukun Yamani dengan rukun Hajar Aswad.” (HR. Abu Daud 1894 dihasankan oleh Syaikh Al-Albani).
Disunnahkan bagi orang yang selesai bertawaf untuk shalat di belakang Maqam Ibrahim. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits di atas; tatkala Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu selesai melakukan tawaf, beliau shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim dan berkata:
يَا بْنَ أَبِى مُوْسَى إِنَّ كُلَّ رَكْعَتَيْنِ تُكَفِّرَانِ مَا أَمَامَهُمَا
“Wahai Ibnu Abi Musa (Abu Burdah), sesungguhnya setiap dua raka’at (pada makam Ibrahim) akan menghapuskan berbagai dosa yang diperbuat sesudahnya.”
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
“…Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat…”(QS. Al-Baqarah: 125)
4. Seorang anak seharusnya tetap berusaha berbakti kepada kedua orang tua
Telah diketahui dari pembahasan hadits di atas maupun hadits sebelumnya, bahwasannya bagi seorang anak untuk membalas jasa kedua orang tuanya itu sangat sulit atau bahkan tidak mungkin sama sekali. Namun sudah selayaknya bagi seorang anak, terutama yang memiliki akhlak yang baik, untuk senantiasa berusaha membalas jasa orang tuanya, walaupun dia tau itu tidak akan mungkin. Keinginan itu harus tetap ada dan menyala di dalam diri setiap kaum muslimin.
Jadilah seperti lelaki Yaman yang diceritakan hadits di atas. Dia dengan semangat menggendong sang ibu untuk membantunya tawaf. Tatkala bertemu dengan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu, dia bertanya apakah hal yang dilakukannya telah membalas jasa sang ibu kepadanya atau tidak. Hal ini menunjukkan keikhlasannya dan tekadnya yang kuat untuk membalas jasa ibunya kepadanya.
Keburukan apapun yang mereka lakukan terhadap sang anak, maka sang anak tetap wajib membalasnya dengan kebaikan. Walaupun keduanya telah menzhalimi sang anak, maka hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk membalas menzhalimi keduanya.
Wallahu a’lam bish-showab
Kajian rutin Kitab Al-Adab Al-Mufrad
Ustadz Ali Nur, Lc
Sabtu, 4 Dzulhijjah 1438 H / 26 Agustus 2017
Masjid Dakwah USU, Medan
0 Komentar