بسم الله
والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه. أما بعد:
Kita saksikan kaum muslimin dalam menyikapi masalah nyoblos (ikut pemilu) ada diantara mereka yang membolehkan secara mutlak, dan ada pula diantara mereka yang mengharamkan sama sekali. Sikap yang adil dalam permasalahan nyoblos ini adalah dengan merinci, berikut rinciannya:
Sesungguhnya Masalah Ini Hukum Asalnya Adalah “Masalah Qoth’i Manhaji” Dengan Alasan Berikut Ini
Pemilu adalah cara orang kafir yang selalu dan biasa mereka lakukan dalam memilih pemimpin mereka. Mengikuti dan meniru mereka dalam kebiasaan mereka termasuk salah satu bentuk ” Walaa’ ” kepada mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
{يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصٰرٰۤى اَوْلِيَآءَ ۘ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۗ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَاِنَّهٗ مِنْهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ}
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Siapa saja di antara kamu yang ber-walaa’ kepada mereka, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 51)
Oleh karenanya, Nabi صلى الله عليه وسلم menggolongkan termasuk ke dalam suatu kaum dengan menyerupai kaum tersebut sebagaimana Allah Ta’ala menggolongkan kepada orang kafir dengan sebab adanya Walaa’ kepada mereka.
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
« ﻣﻦ ﺗﺸﺒﻪ ﺑﻘﻮﻡ ﻓﻬﻮ ﻣﻨﻬﻢ »
رواه أحمد وأبو داود ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ (ﺻﺤﻴﺢ) اﻧﻈﺮ ﺣﺪﻳﺚ ﺭﻗﻢ: ٦١٤٩ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺠﺎﻣﻊ.
“Siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka”(HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Pemilu adalah turunan cabang sistem kufur dalam pemerintahan yang mendewakan rakyat dan aspirasi mereka, yaitu Demokrasi. Sistem ini menetapkan kebijakan-kebijakan atas dasar suara terbanyak.
Padahal Allah Ta’ala menyatakan :
{وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى الْاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلَّا يَخْرُصُوْنَ}
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (QS. Al-An’am 6: Ayat 116)
Cara ini menyama ratakan semua manusia, baik yang memiliki keimanan maupun tidak, yang berilmu maupun yang bodoh dan yang taat maupun yang maksiat. Padahal Allah Ta’ala membedakan mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
{مَثَلُ الْفَرِيْقَيْنِ كَالْاَعْمٰى وَالْاَصَمِّ وَالْبَـصِيْرِ وَالسَّمِيْعِ ۗ هَلْ يَسْتَوِيٰنِ مَثَلًا ۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ}
“Perumpamaan kedua golongan (orang kafir dan mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Samakah kedua golongan itu? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran?” (QS. Hud 11: Ayat 24)
Cara inilah yang diminati dan menjadi dagangan para harokiyyun hizbiyyun. Yang tentunya sikap mereka membuat perpecahan dalam barisan umat Islam.
Allah Ta’ala berfirman:
{وَلَا تَكُوْنُوْا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ #
مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا ۗ كُلُّ حِزْبٍۢ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ}
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Rum 30: Ayat: 31-32)
Dan alasan yang lainnya.
Masalah Nyoblos (Pemilu) Ini Bisa Berubah Dan Bergeser Kepada “Masalah Ijtihadi” Jika Adanya Hal Darurat Yang Merubahnya.
Sebuah kaedah berbunyi:
[ الضرورة تبيح المحظورة ]
“Sebuah hal yang darurat bisa membolehkan sebuah hal yang dilarang”.
Asal dalam masalah ini adalah hukum Bangkai dan Babi. Dalam Al Qur-an Allah Ta’ala memberikan hukum asal bagi keduanya secara Qoth’i adalah haram. Siapa saja yang menghalalkan keduanya setelah mengetahui hukum asal keduanya tanpa ada kedaruratan, maka para ulama menghukuminya kafir.
Hukum Asal Ini Berubah Menjadi Boleh Jika Ada Hal Yang Darurat.
Allah Ta’ala berfirman:
{اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْکُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَاۤ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَاۤ اِثْمَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ}
“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 173)
Namun dipersyaratkan untuk memberlakukan kaedah ini pada masalah yang besar ini (yaitu kasus nyoblos/ pemilu) karena menyangkut permasalahan keumatan – wajib diserahkan kepada ulama-ulama besar untuk melihat maslahat dan mudhorotnya.
Karena merupakan kebijaksanaan dalam segala hal adalah “Urusan besar harus diserahkan kepada orang besar dan ditangani olehnya, bukan oleh orang kecil. Walaupun terkadang adanya kesamaan solusi antara orang besar dengan orang kecil.”.
Ini dilakukan untuk menyelesaikan masalah dengan tepat sasaran tanpa menimbulkan polemik dan kericuhan.
Kita ambil contoh, Sebuah hal yang bijaksana adalah menyerahkan sebuah kasus keretakan rumah tangga antara suami dan istri kepada orang yang memiliki wibawa dalam pandangan suami-istri tersebut seperti hakim, ulama atau tokoh agama. Bukan diserahkan dan ditangani oleh anak-anak keduanya. Walau terkadang solusi dari anak-anak tersebut sesuai dengan solusi sang hakim, ulama ataupun sang tokoh agama. Hanya saja masing-masing pihak yang bertikai belum tentu menerima atau belum siap menerima solusi dari anak-anak mereka. Padahal bisa jadi sama dalam solusi tersebut.
Demikianlah mestinya juga para pengikut salaf dalam kasus pemilu ini. Mereka harus bersepakat untuk menyerahkan kasus ini kepada para ulama kibar yang hidup saat ini. Fatwa mereka dalam kasus ini harus didengar dan dipatuhi untuk meredam polemik yang pasti akan muncul dan terjadi. Ini bentuk pengamalan terhadap firman Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman:
{فَسْــئَلُوْۤا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ}
“Bertanyalah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya 21: Ayat 7)
Dan juga sebagai bentuk mencermati hadits Nabi صلى الله عليه وسلم berikut:
ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ: ﺑﻴﻨﻤﺎ ﻛﺎﻥ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺤﺪﺙ ﺇﺫ ﺟﺎء ﺃﻋﺮاﺑﻲ ﻓﻘﺎﻝ: ﻣﺘﻰ اﻟﺴﺎﻋﺔ؟ ﻗﺎﻝ: «ﺇﺫا ﺿﻴﻌﺖ اﻷﻣﺎﻧﺔ ﻓﺎﻧﺘﻈﺮ اﻟﺴﺎﻋﺔ» . ﻗﺎﻝ: ﻛﻴﻒ ﺇﺿﺎﻋﺘﻬﺎ؟ ﻗﺎﻝ: «ﺇﺫا ﻭﺳﺪ اﻷﻣﺮ ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮ ﺃﻫﻠﻪ ﻓﺎﻧﺘﻈﺮ اﻟﺴﺎﻋﺔ». ﺭﻭاﻩ اﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
“Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه ia berkata : “Tatkala Nabi صلى الله عليه وسلم berbicara, tiba-tiba datang seorang Arab Badui lalu berkata, Kapankah terjadi kiamat? Beliau bersabda : “Apabila amanah disia-siakan, maka tunggulah terjadi kiamat.” Ia bertanya, Bagaimana bentuk menyia-nyiakannya? Beliau bersabda : “Apabila diserahkan seluruh urusan kepada selain ahlinya, maka tunggulah terjadi kiamat.” (HR. Bukhori)
Bila Telah Berlalu Hal Yang Darurat Tersebut Maka Masalah Pemilu Ini Kembali Kepada Masalah Manhaji Yang Wajib Dijauhi.
Bila kasus ini muncul kembali maka wajib untuk meminta fatwa kembali kepada ulama-ulama kibar di masa kasus itu muncul. Tidak dibenarkan menggunakan fatwa lama untuk kasus baru. Karena sebuah fatwa diikat dengan kasus tertentu, faktor tertentu, waktu tertentu, tempat tertentu dan individu atau pihak tertentu. Yang bisa jadi berbeda satu sama lainnya.
Barangkali ini sebagai bentuk pengamalan kaedah:
[الحكم يدور مع العلة ]
“Sebuah hukum beredar bersama faktor penyebabnya.”
Wajib Kembali Fokus Menyibukkan Diri & Mengajak Sesama Untuk Memperbaiki Diri Bila Sudah Berlalu Kasus Ini
Bila sudah berlalu kasus ini, semua wajib kembali fokus menyibukkan diri untuk memperbaiki diri dan mengajak sesama untuk memperbaiki diri dengan terus belajar agama dan menuntut ilmu serta mengamalkan ilmu. Lebih khusus permasalahan Iman, Aqidah dan Tauhid lalu mengamalkan tuntutannya berupa amal Sholih sehingga Allah Ta’ala akan memberlakukan janji-Nya dalam ayat berikut :
Allah Ta’ala berfirman:
{وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَـيَسْتَخْلِفَـنَّهُمْ فِى الْاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِى ارْتَضٰى لَهُمْ وَلَـيُبَدِّلَــنَّهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ اَمْنًا ۗ يَعْبُدُوْنَنِيْ لَا يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْـئًــا ۗ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذٰلِكَ فَاُولٰٓئِكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ}
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi siapa saja (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
(QS. An-Nur 24: Ayat 55)
Kesimpulan
Pilihan ada di hadapan masing – masing kita antara ikut nyoblos (pemilu) atau tidak. Jika kita memilih untuk nyoblos (berpartisipasi dalam pemilu) karena ada fatwa ustadz yang menisbatkan ke fatwa ulama dengan pertimbangan maslahat yang besar untuk menolak mudhorot yang besar atau dengan pertimbangan memilih mudhorot yang paling ringan di antara mudhorot yang ada ( ارتكاب أخفّ الضررين ), maka pilihan kita akan dimintai pertanggungjawabannya karena pilihan itu termasuk amal.
Demikian pula saudara kita yang tidak memilih karena memandang bahwa umat Islam tak kan pernah menang dengan cara orang kafir bahkan dengan mengikuti cara orang kafir, umat Islam telah kalah karena jadi pengekor di belakang mereka, maka saudara-Saudara kita ini pun akan diminta pertanggungjawabannya. Jangan menambah beratnya pertanggung jawaban di sisi Allah dengan ungkapan-ungkapan buruk kepada Saudara seiman.
Allah Ta’ala berfirman:
{لَا يُسْـئَـلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْئَــلُوْنَ}
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi mereka (manusia)lah yang akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban).” (QS. Al-Anbiya 21: Ayat 23)
Yang pasti, janji Allah Ta’ala pasti benar di dalam QS. An-Nuur: 55. Allah Ta’ala berfirman:
{ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيْعَادَ}
“Sungguh, Allah tidak menyalahi janji.” (QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 9)
Maka tempuhlah syarat-syaratnya.
1. Pelajari Iman dengan benar beserta rinciannya dan ajarkan kepada sesama.
2. Aplikasikan Iman dengan amal Sholih dalam kehidupan nyata.
3. Jaga kuncinya yaitu Terus Beribadah kepada Allah di atas Tauhid yang benar dan jauhi lawannya yaitu kesyirikan dengan berbagai bentuknya.
Semoga Bermanfaat.
Selamat Mencoba.
والله تعالى أعلم بالصواب.
0 Komentar