بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah ta’la yang berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan Aku telah mencukupkan nikmat-Ku padamu, dan Aku telah meridhai untukmu Islam sebagai agama.” (QS. Al-Ma`idah: 3)
‘Abdullah bin ‘Abbas (3 SH – 68 H) radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa memberitahukan kepada nabi-Nya Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang-orang yang beriman bahwasanya Dia telah menyempurnakan keimanan bagi mereka, sehingga mereka tidak memerlukan tambahan selamanya. Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa telah mencukupkannya, maka Dia tidak akan menguranginya selamanya. Dan Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa telah meridhainya maka Dia tidak akan murka kepadanya selamanya.”[1]
Al-Hafizh Ibnu Katsir (700-774 H) rahimahullaahu menjelaskan, “(Ayat) ini adalah sebesar-besar nikmat yang Allah ‘Azza wa Jalla anugerahkan atas umat ini. Karena Dia Subhaanahu wa Ta’aalaa telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka, sehingga mereka tidak lagi memerlukan agama lainnya dan tidak pula nabi yang lainnya. Semoga shalawat dan salam tercurah atas mereka. Oleh sebab itu, Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa menjadikan beliau sebagai penutup para nabi dan mengutus beliau kepada manusia dan jin. Maka tidak ada yang halal kecuali apa yang dihalalkannya, tidak ada yang haram selain apa yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali apa yang disyari’atkannya. Segala hal yang diberitakannya adalah hak dan benar, tidak mengandung kebohongan dan tidak pula mengandung pengingkaran janji. Sebagaimana Dia Subhaanahu wa Ta’aalaa berfirman:
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا
“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. “ (QS. Al-An’aam: 115)
Maksudnya benar dalam semua berita dan adil dalam segala perintah dan larangan. Tatkala Dia Subhaanahu wa Ta’aalaa telah menyempurnakan untuk mereka agama ini, berarti telah sempurnalah nikmat itu atas mereka. Itulah sebabnya Dia Subhaanahu wa Ta’aalaa befirman: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan Aku telah mencukupkan nikmat-Ku padamu, dan Aku telah meridhai untukmu Islam sebagai agama.”
Maksudnya: maka ridhailah dia (agama Islam) untuk dirimu! Karena sesungguhnya dia merupakan satu-satunya agama yang Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa cintai dan ridhai. Dengannya Dia mengutus rasul yang paling utama, dan dengannya pula Dia Subhaanahu wa Ta’aalaa menurunkan kitab suci yang paling mulia.”[2]
Diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya seorang laki-laki Yahudi berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin! (Ada) satu ayat di dalam Kitab (suci)mu yang kamu baca, yang jika ayat itu diturunkan atas kami kaum Yahudi, kami pasti menjadikan hari (turunnya ayat) itu sebagai hari raya.” ‘Umar bertanya, “Ayat yang mana?” Laki-laki itu menjawab, “(yaitu ayat) Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan Aku telah mencukupkan nikmat-Ku padamu, dan Aku telah meridhai untukmu Islam sebagai agama.” ‘Umar berkata, “Kami benar-benar mengetahui hari dan lokasi diturunkannya ayat tersebut kepada Nabi Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau berdiri di ‘Arafah pada hari Jum’at.”
Al-Husein bin Mas’ud al-Baghawi (w. 516 H) rahimahullaahu berkata, “’Umar mengisyaratkan bahwa hari itu merupakan hari raya bagi kita (kaum muslimin).”[3]
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam yang bersabda,
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِىٌّ قَبْلِى إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Sungguh, tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali dia berkewajiban menunjukkan kepada umatnya kebaikan apapun yang diketahuinya, serta memperingatkan kepada mereka keburukan apapun yang diketahuinya.” (Diriwayatkan oleh Muslim: 1844, dari Ibnu ‘Amru Radhiyallaahu ‘anhu)
Dan bersabda,
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Tidak ada suatu perkara pun yang tersisa, (baik) yang akan mendekatkan ke surga maupu yang menjauhkan dari neraka, kecuali telah diterangkan kepadamu.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabiir: 1647, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah: IV/ 416, no hadits: 1803)
Diriwayatkan dari Salman al-Farisi radhiyallaahu ‘anhu, ia menceritakan bahwasanya ada yang berkata kepadanya –dalam sebuah riwayat: sambil mencemooh, yaitu sebagian orang musyrik-, “Sesungguhnya nabi kalian telah mengajari kalian segala hal hingga persoalan buang hajat.” Salman menanggapi, “Memang benar. Beliau melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang hajat atau kencing, (melarang kami) beristinja` dengan tangan kanan atau kurang dari tiga buah batu atau beristinja` dengan kotoran atau tulang.”[4]
Abu al-Qasim Isma’il bin Muhammad bin al-Fadhl al-Ashbahani (457-535 H) rahimahullaahu berkata, “Maka beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan sesuatu apapun dari semua urusan agama, baik kaidah-kaidahnya, perkara-perkara ushulnya, syari’at-syari’atnya dan bagian-bagiannya melainkan beliau telah menerangkannya, menyampaikannya secara sempurna dan tidak menunda-nunda penjelasan ketika diperlukan. Karena di antara kelompok-kelompok umat ini tidak ada yang berbeda pendapat bahwasanya menunda-nunda penjelasan ketika diperlukan tidak diperbolehkan walau bagaimanapun. Dan sebagaimana diketahui bahwasanya urusan tauhid dan penetapan ash-Shaani’ (Zat yang menciptakan) terus diperlukan di setiap waktu. Seandainya penjelasan tentangnya ditunda-tunda, berarti itu membebani umat ini dengan sesuatu yang tidak ada jalannya bagi mereka. Jika perkaranya adalah sebagaimana yang telah kami paparkan, maka kita dapat mengetahui bahwasanya dalam perkara-perkara begini, Nabi Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam tidak membiarkan mereka berdalil dengan al-a’raadh dan tidak bergantung kepada al-jawaahir serta perubahannya. Karena tidak memungkinkan bagi seorang pun untuk meriwayatkan satu huruf pun yang demikian dari beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak pula dari seorang sahabat beliau pun, baik dengan jalan mutawatir maupun ahad. (Kalau begitu) Dapatlah diketahui bahwasanya pendapat mereka menyelisihi pendapat beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, serta menempun selain jalan mereka.”[5]
Imam Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdil Halim al-Harrani (661-728 H) rahimahullaahu menuturkan, “Dan merupakan hal yang mustahil juga bahwa Nabi Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah mengajari umatnya segala hal hingga adab buang hajat, yang bersabda,
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلاَّ هَالِكٌ
“Saya tinggalkan kamu di atas jalan yang putih bersih, malamnya seperti siangnya, tidak ada yang menyimpang dari jalan itu sepeninggalku kecuali orang yang celaka.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad: IV/ 126 dan beberapa imam hadits lainnya, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah: III/ 11 nomor hadits: 937)
Yang juga bersabda,
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِىٌّ قَبْلِى إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Sungguh, tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali dia berkewajiban menunjukkan kepada umatnya kebaikan apapun yang diketahuinya, serta memperingatkan kepada mereka keburukan apapun yang diketahuinya.” (Diriwayatkan oleh Muslim: 1844, dari Ibnu ‘Amru Radhiyallaahu ‘anhu)
Dan Abu Dzarr radhiyallaahu ‘anhu menyatakan, “Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam telah wafat dalam keadaan tidaklah seekor burung pun yang mengepakkan kedua-dua sayapnya di langit kecuali beliau telah menyebutkan ilmunya kepada kami.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabiir: II/ 166, nomor: 1647, dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahiihah: IV/ 416 nomor hadits: 1803)
Juga ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berdiri di antara kami di suatu tempat. Lalu beliau menceritakan awal penciptaan (makhluk) hingga para penghuni surga memasuki tempat-tempat tinggal mereka dan para penduduk neraka memasuki tempat-tempat tinggal mereka. Hal itu diingat oleh siapa saja yang ingat dan dilupakan oleh siapa saja yang lupa.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhaari dalam Shahiih-nya: VI/ 286 nomor hadits: 3192)
(merupakan) hal yang mustahil jika mereka (umat beliau) diajari segala hal yang mengandung manfaat bagi mereka dalam agama –meskipun kecil-, beliau tidak mengajari mereka hal-hal yang mereka ucapkan dengan lisan mereka dan yang mereka yakini dengan hati mereka terhadap Rabb mereka, sembahan mereka, Rabb pemilik semesta alam, yang mengenal-Nya merupakan puncak semua pengetahuan, yang peribadahan kepada-Nya merupakan tujuan paling mulia dan yang tujuan kepada-Nya merupakan puncak dari semua tujuan. Bahkan, ini adalah inti dakwah kenabian dan esensi risalah ilahiyyah. Oleh karenanya, bagaimana bisa seseorang yang hatinya masih memiliki sedikit keimanan dan hikmah menduga bahwa penjelasan tentang bab ini (aqidah asma` was shifat, dan begitu juga urusan-urusan agama lainnya) tidak disebutkan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sebaik-baiknya?”[6]
Imam Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani (1173-1250 H) rahimahullaahu berkata, “Jika Allah ‘Azza wa Jalla telah menyempurnakan agamanya sebelum mewafatkan Nabi-Nya Subhaanahu wa Ta’aalaa, maka pendapat apakah ini yang diada-adakan oleh pemiliknya, setelah Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa menyempurnakan agamanya? Apabila menurut keyakinan mereka pendapat tersebut merupakan bagian agama ini, berarti agama ini belum sempurna kecuali dengan pendapat mereka. Dan ini sama saja menolak al-Qur`an (yang menyebutkan agama ini telah sempurna –penj). Sedangkan, jika pendapat itu tidak bagian dari agama ini, lantas apa gunanya menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak merupakan bagian dari agama ini?”[7]
Ahmad bin al-Hasan ar-Raazi rahimahullaahu berkata, “Setiap perkara yang diada-adakan setelah turunnya ayat ini (yakni QS. Al-Ma`idah: 3), maka itu merupakan berlebihan, tambahan dan bid’ah.”[8]
Maka ayat di atas menunjukkan bahwasanya agama Allah ‘Azza wa Jalla yang dibawa oleh Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam sempurna. Juga menunjukkan bahwasanya beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam telah menerangkan dan menjelaskannya sejelas-jelasnya. Tidak tersisa sesuatu pun dari agama ini yang belum dijelaskannya, baik dalam perkara ushul maupun dalam perkara furu’. Dengan demikian tidak ada ruang untuk menciptakan akidah-akidah lain dari berbagai pikiran dan pendapat manusia, tidak ada celah untuk mengada-adakan ibadah-ibadah dan berbagai bentuk pendekatan diri kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa dari perasaan-perasaan manusia. Dan firman Allah: diinakum (agama kamu) bersifat umum mencakup urusan agama yang sifatnya ushul maupun furu’. Agama ini, semuanya telah disempurnakan dan diterangkan dalam permasalahan ushul dan furu’nya. Dalam agama ini, telah diterangkan apa saja yang berkaitan dengan akidah dan keimanan, amalan-amalan dan berbagai taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adab serta akhlak. Semuanya telah diterangkan dalam al-Qur`an dan as-Sunnah segamblang-gamblangnya. Maka apabila Anda meyakini perkara-perkara akidah yang disebutkan dalam al-Qur`an dan as-Sunnah, maka itulah akidah yang paling benar, lurus dan selamat. Jika Anda mengamalkan ibadah-ibadah yang dijelaskan dalam al-Qur`an dan as-Sunnah, maka itulah sesempurna-sempurnanya ibadah. Dan jika Anda mempraktekkan akhlak-akhlak yang diterangkan dalam al-Qur`an dan as-Sunnah, maka itulah akhlak yang paling suci dan paling baik.[9]
Wallaahu ‘Alam bi ash-Shawaab.
[1] Silahkan melihat Jaami’ al-Bayaan ‘an Ta`wiil Aay al-Qur`aan penulis Abu Ja’dar Muhammad bin Jarir ath-Thabari tahqiq Doktor ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki (VIII/ 80), Markaz al-Buhuuts wa ad-Diraasaat al-‘Arabiyyah wa al-Islaamiyyah.
[2] Silahkan melihat ‘Umdat at-Tafsiir ‘an al-Haafizh Ibni Katsiir Mukhtashar Tafsiir al-Qur`aan al-‘Azhiim, penulis asy-Syaikh Ahmad Syakir, Daar al-Wafaa` (I/ 628-629)
[3] Silahkan melihat Ma’aalim at-Tanziil, penulis Abu Muhammad al-Husein bin Mas’ud al-Baghawi, tahqiq dan takhrij hadits-hadits oleh: Muhammad ‘Abdullah an-Namir, ‘Utsman Jumu’ah Dhamiriyyah dan Sulaiman Muslim al-Harsy, Daar Tahyyibah (III/ 13)
[4] Silahkan melihat Shahiih Muslim: 262, dan Misykaat al-Mashaabiih penulis Muhammad bin ‘Abdillah al-Khathib at-Tibrizi, tahqiq Muhammad Nashiruddin al-Albani, Kitaab ath-Thahaarah Bab Aadaab al-Khalaa`, hal 119, nomor hadits: 370, al-Maktab al-Islami.
[5] Silahkan melihat al-Hujjah fii Bayaan al-Mahajjah wa Syarh ‘Aqiidah Ahlis Sunnah (I/ 375-376) tahqiq Muhammad bin Rabi’ bin Hadi al-Madhkhali, Daar ar-Raayah.
[6] Silahkan melihat al-Fatwaa al-Hamawiyyah al-Kubraa, tahqiq Doktor Hamad bin ‘Abdul Muhsin at-Tuwaijiri, Daar ash-Shami’i, hal. 178-181, dengan beberapa adaptasi.
[7] Dinukil dari kitab ‘Ilm Ushuul al-Bida’ Diraasah Takmiiliyyah Muhimmah fii ‘Ilm Ushuul al-Fiqh, penulis ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdil Hamid al-Halabi al-Atsari, Daar ar-Raayah, hal. 21
[8] Silahkan melihat Dzamm al-Kalaam wa Ahlih penulis Abu Isma’il ‘Abdullah bin Muhammad al-Harawi, takhrij hadits dan ta’liq oleh ‘Abdullah bin Muhammad al-Anshari, (I/ 281) nomor riwayat: 15, Maktabah al-Ghurabaa` al-Atsariyyah.
[9] Silahkan melihat Tadzkirah al-Mu`tasii Syarh ‘Aqiidah al-Haafizh ‘Abdil Ghaniy al-Maqdisi, penulis Profesor ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr, hal. 50-51, penerbit Gharaas.
0 Komentar