Kata puasa berasal dari dua sumber:
1. Secara bahasa, maknanya adalah menahan.
2. Secara istilah syariat,
Maknanya adalah menahan diri dari sesuatu yang bisa membatalkan puasa, dengan niat yang khusus sesuai jenis puasa yang dia kerjakan didalam seluruh waktu siang dari seorang muslim yang berakal, suci dari haidh dan nifas.
Maka ibadah puasa seorang yang bukan muslim, yang hilang akal atau kesadaranya dan wanita yang sedang haidh atau nifas tidak diterima. Dikarenakan orang yang hilang akal dia tidak mampu berniat sedangkan niat adalah syarat dan sebagian ulama mengatakan sebagai rukun dari semua ibadah.
Syarat wajib puasa, ada 3 atau 4:
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Mampu
Wajib – wajib puasa, ada 4 macam:
1. Niat dengan hati, jika puasanya puasa wajib seperti ramadhan atau puasa nadzar, maka harus berniat di malam hari sebelum puasa dan wajib menentukan niat puasa yang akan dikerjakan untuk puasa yang wajib, semisal ramadhan. Lalu menyempurnakan niatnya dengan mengatakan “Nawaitu sauma ghadin …. dan seterusnya”.
Disini penulis rahimahullah mengikuti pendapat jumhur ulama yang mengatakan melafadzkan niat adalah mustahab yaitu dianjurkan. Dari keempat madzhab megatakan demikian kecuali malikiyah yang berpendapat bahwa mengucapkan niat itu mustahab hanya bagi orang berpenyakit was – was. Adapun sebagian ulama hanabilah mengatakan ini adalah bid’ah semisal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan banyak lainya. Ini adalah yang lebih benar, dikarenakan tidak ada contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat rodhiyallahu anhum. Pendapat jumhur yaitu mayoritas ulama tidak mutlak benar atau yang rojih/kuat. Ada penjelasan dari Ibnu Abidin rahimahullah seorang ulama bermadzhab hanafi salah satu madzhab yang menganggapnya mustahab, beliau mengatakan bahwa hal ini maksudnya hukumnya bukanlah sunnah (apalagi wajib) ataupun makruh (hanya mustahab). Dikarenakan barang siapa memnuat sebuah sunnah baru tanpa dalil maka dia telah berbuat bid’ah. Barang kali yang dimaksud para ulama lain adalah seperti beliau wallahu ta’ala a’lam.(pent)
2. Menahan diri dari makan dan minum, walau yang dimakan dan diminum hanya sedikit secara sengaja. Kemudian jika makan dalam keadaan lupa atau belum tahu hukumnya karena baru masuk islam atau tumbuh dewasa jauh dari ahli ilmu maka puasanya tidak batal, tapi jika tidak maka batal puasanya.
3. Berhubungan badan secara sengaja, adapun jika lupa maka tidak batal sebagaimana makan.
4. Muntah dengan sengaja, adapun jika terpaksa muntah tanpa disengaja maka tidak membatalkan puasanya.
Pembatal-pembatal puasa, Ada 10 macam:
1. Segala sesuatu baik makanan, minuman maupun yang lainya yang masuk sampai ke perut dari jalur yang terbuka semisal mulut ,hidung, telinga dan sejenisnya secara sengaja.
2. Dari jalur yang tidak terbuka semisal sampainya dzat (obat) dari jalur luka di bagian kepala sampai ke otak. Maksudnya adalah menahan diri dari melakukan hal-hal yang bisa membuat sesuatu yang bisa dilihat oleh mata masuk sampai kekerongkongan.
Semisal obat tetes di mata, maka obat ini secara kedokteran akan bisa mencapai rongga hidung, lalu obat itu akan dialirkan oleh sel – sel silia menuju ke tenggorokan sehingga terasa pahit dan ini tidak diperbolehkan ketika berpuasa. (keterangan dr. Sandro Willis, Ma’had Lukman Hakim Medan). Maka orang yang berpuasa wajib menghindarinya hingga sampai kekeronggkongan hingga membatalkan puasanya.(Pent)
Syaikh Ibn Baz rahimahullah juga berkata: “Yang sahih, obat tetes mata tidak membatalkan puasa. Sekalipun ini menjadi perdebatan di kalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat, jika rasanya sampai ke tenggorokan maka itu membatalkan. Namun yang sahih, hal itu tidak membatalkan secara mutlak. Karena mata tidak tembus ke tenggorokan. Namun jika yang menggunakannya merasa ada rasa di tenggorokan kemudian meng-qadha puasanya, untuk berjaga-jaga dan keluar dari perselisihan, maka hal itu tidak mengapa. Tidak meng-qadha puasanya pun tidak mengapa. Karena yang sahih adalah obat tetes tidak membatalkan puasa, baik itu tetes di mata maupun di hidung. Demikian”. Dikutip dari “Majmu’ Fatawa Ibn Baz” (15/263)
3. Suntikan atau segala macam injeksi obat kedalam tubuh kepada pasien melalui bagian belakang maupun bagian depan, dubur maupun qubul.
4. Muntah dengan sengaja sebagiamana sebelumnya dijelaskan.
5. Berhubungan badan di kemaluan secara sengaja, adapun lupa maka tidak batal sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
6. Mengeluarkan mani disebabkan bercumbu tanpa jima’ secara haram seperti onani dengan tanganya sendiri, maupun secara tidak haram dengan tangan istri atau budak wanitanya. Dikecualikan bercumbu sampai keluar mani dalam mimpi basah, maka hal ini tentu tidak membatalkan puasa.
7. Haidh
8. Nifas
9. Gila
10. Murtad
Maka kapan saja terjadi salah satu dari hal-hal yang telah dijelaskan ditengah puasanya, maka batal puasanya.
Sebagian orang mungkin bertanya bagaimana jika siang dia gila atau hilang akal dengan berbagai sebab lalu sorenya sebelum berbuka dia sadar kembali? Maka berdasarkan keterangan penulis rahimahullah puasanya batal wallahu a’lam.
Teks Arab
محمد بن قاسم بن محمد بن محمد، أبو عبد الله، شمس الدين الغزي، ويعرف بابن قاسم وبابن الغرابيلي (المتوفى: 918هـ)
كتاب بيان أحكام الصيام
وهو والصَوم مصدران، معناهما لغةً الإمساك، وشرعًا إمساك عن مفطر بنية مخصوصة، جميعَ نهار قابل للصوم، من مسلمٍ عاقلٍ طاهر من حيض ونفاس
شروط وجوب الصيام
(وشرائط وجوب الصيام ثلاثة أشياء): وفي بعض النسخ «أربعة أشياء»: (الإسلام، والبلوغ، والعقل؛ والقدرة على الصوم). وهذا هو الساقط على نسخة الثلاثة؛ فلا يجب الصوم على المتصف بأضداد ذلك.
فرائض الصوم
(وفرائض الصوم أربعة أشياء): أحدها (النية) بالقلب؛ فإن كان الصوم فرضًا كرمضانَ أو نذرا فلا بد من إيقاع النية ليلا، ويجب التعيين في صوم الفرض كرمضان؛ وأكمل نية صومه أن يقول الشخص: «نَوَيتُ صَوْمَ غَدٍ عَن أدَاء فَرْضِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنةِ لِلّهِ تعالى.
(و) الثاني (الإمساك عن الأكل والشرب) وإن قل المأكول والمشروب عند التعمد؛ فإن أكل ناسيا أو جاهلا لم يفطر إن كان قريب عهد بالإسلام أو نشأ بعيدا عن العلماء، وإلا أفطر. (و) الثالث (الجماع) عامدا؛ وأما الجماع ناسيا فكالأكل ناسيا. (و) الرابع (تعمد التقيء)؛ فلو غلبه القيء لم يبطل صومُه.
ما يفطر به الصائم
(والذي يفطر به الصائم عشرة أشياء): أحدها وثانيها (ما وصل عمدا إلى الجوف) المنفتح (أو) غير المنفتح كالوصول من مأمومة إلى (الرأس)؛ والمراد إمساك الصائم عن وصول عين إلى ما يسمى جوفا. (و) الثالث (الحقنة في أحد السبيلين)، وهي دواء يحقن به المريض في قبل أو دبر، المعبر عنهما في المتن بالسبيلين. (و) الرابع (القيء عمدا)؛ فإن لم يتعمد لم يبطل صومه كما سبق. (و) الخامس (الوطء عمدا في الفرج)؛ فلا يفطر الصائم بالجماع ناسيا كما سبق. (و) السادس (الإنزال) وهو خروج المني (عن مباشرة) بلا جماع محرما كإخراجه بيده أو غيرَ محرم كإخراجه بيد زوجته أو جاريته. واحترز بمباشرة عن خروج المني باحتلام، فلا إفطار به جزما. (و) السابع إلى آخر العشرة (الحيض، والنفاس، والجنون، والردة). فمتى طرأ شيء منها في أثناء الصوم أبطله.
Diambil dari kitab: “Fathul qorib syarah matan Abi Syuja'”
Karya: Imam Syamsuddin Alghaziy. (w. 918 H) seorang ulama bermadzhab syafi’i kelahiran palestina.
Alih Bahasa: Bagus Wijanarko, ST.
Editor: Ust. Indra abu Mu’adz Hafidzohumallahu ta’ala
2 orang tholibul ‘ilm Jami’ah Imam KJJLIPIA.
0 Komentar