Bismillahirrahmanirrahim
Pengertian Aqidah
Aqidah, kata yang muncul di agama kita, berasal dari kata عَقَدَ – يَعْقِدُ – عَقْدًا/عَقِيْدَةً yang artinya mengikat atau membuhul, seperti kalimat “saya mengikat tali” (عَقَدتُّ الحَبْلَ). Begitu juga lafaz yang mengikat dalam proses jual beli, dinamakan akad jual beli; atau yang mengikat dalam proses pernikahan, dinamakan akad nikah.
Agama Islam tidak semuanya berisi aqidah. Di dalamnya juga terdapat pembahasan ‘ibadah, akhlak, muamalah dan lain-lain; semua ini berkaitan dengan fiqih dan ‘amalan badan. Adapun aqidah, maka dia berkaitan dengan keyakinan dan ‘amalan hati. Aqidah dalam istilah para ‘Ulama adalah pembahasan-pembahasan dalam agama yang resmi dan diikat dengan erat di dalam hati. Aqidah harus selalu terikat di dalam hati, karena apabila terlepas maka sesuatu yang diikat diatasnya akan hilang dan ini akan membawa kepada kegelisahan.
Kedudukan Aqidah Yang Benar
Sesungguhnya Aqidah Islam yang bersih, murni dan suci yang diambil dari Alquran dan Assunnah memiliki kedudukan yang tinggi dan tempat yang mulia di dalam Agama ini; bahkan kedudukannya di dalam Agama ini bagaikan pondasi suatu bangunan, maka pondasi itulah aqidah sementara yang ada di atasnya adalah bagian yang lain dari agama. Atau kedudukannya seperti jantung terhadap bagian tubuh yang lain. Dari An-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu’anhuma, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Maka baiknya aqidah atau ‘amalan hati seseorang akan berpengaruh kepada ‘amalan badannya.
Permisalan lainnya dari aqidah adalah seperti akar dari sebatang pohon. Apabila sebatang pohon memiliki akar yang lemah, maka dengan angin yang pelan saja, pohon itu akan mudah jatuh; namun sebaliknya apabila pohon tersebut memiliki akar yang kuat, maka badai pun tidak akan bisa merobohkannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim: 24-25)
Dari kedua ayat di atas, Allah ‘Azza wajalla menjelaskan tentang tingginya dan pentingnya aqidah dalam Agama Islam. Maksud dari ‘kalimat yang baik’ adalah kalimat laa ilaaha illallah (tidak ada tuhan selain Allah), yakni kalimat tauhid yang dia masuk ke dalam pembahasan aqidah, sedangkan kalimat ‘cabangnya menjulang ke langit’ menggambarkan ‘amalan badan dari seseorang yang memiliki tauhid yang baik. Inilah perumpamaan aqidah yang baik; sekuat apapun angin yang menerpa, apabila memiliki akar yang kuat, maka tidak akan tumbang pohon yang ada di atasnya. Bahkan dengan akar yang dalam yang kuat juga, itu akan bermanfaat bagi pohon tersebut sehingga dapat memberi banyak manfaat berupa buah-buahan.
Pentingnya Aqidah Bagi Orang Yang Beraqidah Itu Sendiri
Aqidah yang baik adalah sesuatu yang terpatri kuat di dalam hati seseorang. Di dalam hatinya, itu bagaikan sesuatu yang tidak pernah bergoyang; yakni suatu keyakinan yang kuat dan terhujam kokoh; dan dari keyakinan tersebut seseorang bersikap, mengambil tindakan dan bahkan bisa saja sampai mengorbankan jiwa, harta dan segala-galanya demi mempertahankan apa yang ada di dalam hatinya. Inilah nilai aqidah bagi orang yang memiliki aqidah itu sendiri. Dia tidak akan menjual aqidahnya demi dunia. Orang yang beraqidah akan memiliki perhatian yang besar terhadap aqidahnya; dia akan merasa aqidah itu jauh lebih penting dari makanan, pakaian atau kenikmatan lain dari nikmat-nikmat duniawi.
Masalah aqidah adalah masalah yang terpenting dari masalah-masalah yang penting dan yang terwajib dari masalah-masalah yang wajib. Generasi Assalafush Shalih menaruh perhatian yang sangat besar terhadap masalah aqidah ini. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mewariskan ilmu aqidah kepada para sahabat secara lisan, seperti yang beliau Shallallahu’alaihi wasallam ajarkan kepada Abdullah ibnu ‘Abbas Radhiyallahu’anhuma.
عبْد الله بن عَبّاسٍ -رَضِي اللهُ عَنْهُما- قالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمًا، فَقَالَ: يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ
Abdullah bin ‘Abbas –Radhiyallahu’anhuma– menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi Shallallahu’alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku akan ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu manfaat, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan yang lainnya)
Begitu juga Generasi Sahabat, mereka mewariskan ‘ilmu ini secara lisan kepada generasi Tabi’in. Setelah generasi Tabi’in, maka dimulailah penulisan ‘ilmu-‘ilmu agama yang termasuk di dalamnya ‘ilmu aqidah; seperti kitab yang ditulis Imam Abu Hanifah yang berjudul Al-Fiqh Al-Akbar. Lalu setelah itu muncul lagi kitab-kitab lain yang sangat banyak. Ini menunjukkan besarnya perhatian Generasi Assalafush Shalih terhadap aqidah dan usaha-usaha mereka agar generasi setelahnya dapat memahami aqidah yang benar.
15 Pondasi Aqidah Yang Benar
Berikut ini adalah 15 pondasi aqidah yang membuat aqidah para generasi terdahulu menjadi kokoh. Dengan mengetahui 15 poin ini, seseorang akan merasa bahwa aqidah adalah sesuatu yang penting dan dengan menerapkannya seseorang akan terjaga aqidahnya insyaallah.
Mereka Berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi Shallallahu’alaihi wasallam sebagai sumber utama aqidah.
Kitabullah dan Assunnah adalah sumber utama agama seorang muslim yang dari keduanya diambil berbagai hukum-hukum Islam seperti fiqih dan aqidah. Apabila seorang muslim tidak lagi percaya kepada dua hal itu maka terancamlah aqidahnya.
Alquran dan Assunnah telah menjawab semua kebutuhan kaum muslimin, tidak ada yang mereka tinggalkan sedikitpun dari urusan agama. Allah telah menerangkan semua hal yang dibutuhkan oleh manusia. Generasi Salaf telah berhasil mempertahankan aqidahnya karena mereka berpegang teguh kepada Alquran dan Assunnah.
Sudah selayaknya bagi seorang muslim untuk mengimani dan memercayai semua yang ada di dalam Alquran dan Assunnah. Mereka wajib mengimani semuanya dan terlarang bagi mereka untuk mengimani sebagian lalu mengingkari sebagian yang lain. Apabila terjadi yang demikian maka akan muncul berbagai perpecahan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا ادْخُلُوْا فِي الْسِّلْمِ كَافَّةً وَ لَا تَتَّبِعُوْا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia merupakan musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208)
Mereka yakin kepada Alquran dan Assunnah bahwa keyakinan yang ada di dalam keduanya adalah keyakinan yang benar.
Alquran dan Assunnah merupakan landasan utama Islam, yang dengannya Islam mengatur segala aspek dalam kehidupan kaum muslimin, bahkan masalah buang hajat sekalipun. Adapun masalah aqidah, Islam juga turut mengatur hal tersebut secara sempurna.
Para generasi salaf terdahulu meyakini keduanya dengan keyakinan yang sempurna. Mereka juga meyakini bahwa tidak ada sesuatu pun yang ada di dalam Alquran dan Assunnah yang boleh ditinggalkan atau disisihkan walaupun sedikit. Generasi salaf terdahulu mengimani semua nash-nash yang berisi berita tentang Allah, para malaikat dan nabi-nabi terdahulu; walaupun mereka tidak pernah melihat Allah, berkenalan dengan satu orang malaikat pun atau bertemu dengan nabi-nabi sebelum Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam. Kendatipun begitu, mereka mengimani itu semua dengan keimanan yang rinci tanpa keraguan sedikitpun. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-hujurat: 15)
Saat terjadi perbedaan atau perselisihan pendapat di antara mereka tatkala mereka merujuk kepada Alquran dan Assunnah, maka mereka tidak punya solusi yang lain selain mengembalikannya kepada Alquran dan Assunnah pula.
Tidak ada pilihan lain selain mengambil dari Alquran dan Assunnah dalam menetapkan sesuatu dalam agama. Para generasi salaf tidak mengenal solusi lain selain kedua hal itu. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri diantara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59).
Selamatnya fitrah mereka.
Hal ini sangat berpengaruh sekali dalam pengkokohan aqidah. Para generasi salaf tidak tercoreng oleh pemikiran-pemikiran yang menyimpang. Fitrah mereka tetap selamat sehingga bisa menyaring pemikiran-pemikiran yang batil. Inilah yang membuat generasi terdahulu memiliki aqidah yang kokoh.
Fitrah adalah anugrah dari Allah ‘Azza wajalla yang sudah ada sejak lahir dan harus dijaga. Oleh karena itu, inilah salah satu yang harus dijaga oleh seorang muslim apabila ia ingin menyelamatkan aqidahnya. Apabila fitrah telah rusak, maka akan sulit untuk dibersihkan kembali dan dimasuki oleh aqidah yang benar.
Sehatnya akal mereka.
Ahlussunnah wal Jama’ah bukanlah golongan yang meninggalkan akal dalam beragama. Bagi mereka akal hanyalah sebatas alat yang digunakan untuk memahami wahyu, bukan alat yang digunakan untuk mengritisinya. Apabila seorang anak dari kecil sudah diajarkan pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah, maka pola pikirnya akan terjaga, yaitu yang sesuai dengan tuntunan wahyu.
Sedangkan Ahlul ahwa’ (pengikut hawa nafsu), tingkatan berfikir mereka tidak sesuai dengan tuntunan agama. Bagi mereka, yang menjadi pondasi kebenaran adalah akal mereka. Namun ini adalah hal yang batil dan mustahil. Jikalau pondasi kebenaran adalah akal, maka mereka harus mencari orang tercerdas di muka bumi ini yang akalnya dapat digunakan sebagai standar utama kebenaran. Tentu mereka akan sulit melakukannya karena di atas orang yang berilmu ada lagi orang yang lebih berilmu. Allah Ta’ala berfirman:
وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
“dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” (QS. Yusuf: 76)
Wahyu adalah standar utama dalam berfikir sedangkan fungsi akal hanyalah untuk memahaminya. Kaidah-kaidah dalam memahami wahyu sudah ada dan sudah diatur, itulah yang harus dituruti. Menuhankan akal adalah perlakuan orang yang akalnya tidak sehat. Bagaimana bisa seseorang mengaku bahwa dengan akalnya dia mampu mengetahui segala-galanya? Padahal akalnya adalah pemberian dari Allah dan Allah telah memberikan kemampuan yang terbatas atasnya. Manusia saja tentunya akan sadar bahwa tangannya tidak akan mampu mengangkat bangunan karena kemampuannya yang terbatas, maka mengapa dia mengklaim bahwa dengan akalnya dia dapat mengritisi wahyu? Jadi sekali lagi, akal bukanlah standar mutlak kebenaran. Kalau seseorang memiliki akal sehat, maka dia akan tahu bahwa akalnya memiliki batas.
Mereka merasa tenang di atas keyakinan mereka.
Aqidah yang benar akan memberikan kenyamanan, ketentraman dan ketenangan. Generasi salaf merasa nyaman dan bahagia dengan keyakinan mereka sedangkan orang-orang yang menuhankan akalnya, di akhir-akhir hidupnya mereka akan merasakan penyesalan, seperti yang kita temui pada tokoh-tokoh filsafat.
Orang-orang yang beriman, hati-hati mereka tenang dengan menegakkan dzikir kepada Allah; memperbincangkan Allah, sifat-sifat-Nya dan kekuasan-kekuasaan-Nya. Membicarakan itu semua membuat mereka merasa nyaman. Ini menunjukkan aqidah yang benar akan membuat hati tentram. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d: 28)
Sebagaimana keyakinan yang kuat memberikan ketenangan dan ketentraman hati, maka keragu-raguan akan melahirkan ketidaktenangan. Generasi salaf memiliki aqidah yang kokoh karena mereka tenang dalam aqidahnya.
Ketergantungan mereka untuk mengikuti pemahaman Assalafush Shalih dalam memahami aqidah.
Yang dimaksud Assalafush Shalih adalah para sahabat, para tabi’in dan para tabi’ut tabi’in. Mereka semua adalah orang-orang yang berhasil mempertahankan aqidahnya. Oleh karena itu, jika seseorang ingin mempertahankan aqidahnya, hendaknya dia tiru orang-orang yang berhasil dalam mempertahankannya.
Janganlah seseorang membuat cara yang baru untuk memahami aqidah karena ini hanya akan membuka pintu kesesatan. Ambillah cara memahami aqidah yang benar dari Assalafush Shalih yang hidup di 3 abad pertama hijriyah dan jangan ambil dari orang-orang yang hidup di abad ke-4, ke-5 dan seterusnya dari penanggalan hijriyah.
Tanda orang yang diingini oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan yaitu ketika dia berjalan di atas jalan ini; yaitu Kitabullah, Sunnah Rasul Shallallahu’alaihi wasallam, Sunnah para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Mereka berada di tengah-tengah dalam beragama.
Para Generasi Salaf, mereka tidak terlalu berlebihan dalam beragama dan tidak juga terlalu lalai dalam menjalaninya. Berlebihan dalam agama akan menimbulkan kesesatan dan begitu juga apabila melalai-lalaikannya.
Inilah yang terjadi di beberapa firqah, contohnya dalam menanggapi pelaku dosa besar; ada firqah sesat yang memvonis pelaku dosa besar itu telah keluar dari keimanan dan telah kafir, ini adalah pendapat yang berlebihan; ada pula firqah sesat yang menganggap bahwa perbuatan maksiat itu tidak memengaruhi iman, maka ini adalah pendapat yang melalai-lalaikan. Ahlussunnah, mereka berada di tengah-tengah dalam menanggapi hal ini. Ahlussunnah berkeyakinan bahwa seorang muslim yang berbuat dosa tidak jatuh kepada kekafiran selama dia tetap bertauhid, namun setiap dosa-dosa yang dikerjakan dapat mengurangi keimanannya.
Ahlussunnah tidak berlebihan dan tidak mengurang-ngurangi, mereka ada di posisi yang sebenarnya, yaitu tempat yang sempurna dalam beragama dan beraqidah. Ciri-ciri seorang muslim adalah mereka berjalan di tengah-tengah dalam beragama. Allah Ta’ala berfirman:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Mereka tidak mendahulukan akal dan perasaan dari apa yang ada di dalam Alquran dan Assunnah.
Akal dan perasaan mereka selalu berimamkan kepada Alquan dan Assunnah, yaitu mengikuti kemana Alquran dan Assunnah mengarah. Dimana ada Alquan dan Asunnah, maka ke sanalah akal dan perasaan mereka mengikuti, sedangkan ahlul ahwa adalah kebalikannya.
Sebagian orang, ada yang mengingkari hukum Islam seperti hukum potong tangan bagi pencuri karena bertentangan dengan perasaan mereka; ada juga yang menentang hukum-hukum Islam yang lain karena bertentangan dengan akal mereka. Mereka mengesampingkan Alquran dan Assunnah tatkala bertentangan dengan perasaan dan akal mereka; sedangkan ahlussunnah, mereka mengesampingkan akal dan perasaan dalam beragama, apabila Alquran dan Assunnah telah menjelaskan mengenai sesuatu, maka mereka mendengar dan mereka menaati keduanya.
Baiknya hubungan mereka dengan Allah dan besarnya keterikatan mereka kepada-Nya.
Mereka selalu berusaha untuk terpaut kepada Allah Subhanahu wata’ala, mereka juga bertawakkal dengan sempurna kepada-Nya. Baiknya aqidah mereka karena mereka senantiasa memperbaiki hubungan mereka kepada Allah.
Berhasil atau tidaknya seorang muslim dalam menjaga aqidahnya adalah anugerah dari Allah, oleh karena itu hendaknya seorang muslim memperbaiki hubungannya kepada Allah. Hubungan yang baik ini dapat dijaga dengan ibadah kepada-Nya. Agar selamat dari fitnah yang mengancam aqidah, perbanyaklah ketaatan kepada Allah dalam bentuk ‘amal. Selain itu, perbanyaklah juga memanjatkan do’a kepada-Nya agar kita senantiasa diberi keteguhan di dalam hidayah, sebagaimana do’a yang sering dipanjatkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
“Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).” Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, kenapa do’a tersebut yang sering beliau baca. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam seraya menjawab,
يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ
“Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.” (HR. Tirmidzi no. 3522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Do’a adalah cara seorang muslim untuk menyerahkan keselamatan aqidahnya kepada Allah.
Mereka menjauhkan keyakinan mereka dari sarana untuk berdebat.
Keyakinan mereka bukan untuk mereka perdebatkan, melainkan untuk menimbulkan ketenangan dalam diri mereka. Aqidah yang benar akan membuat hati menjadi tenang dan ini akan menimbulkan motivasi yang besar dalam beribadah. Sedangkan perdebatan, dia tidak akan melembutkan hati, melainkan hanya akan membuat hati menjadi lebih keras.
Mereka yakin bahwa pembahasan aqidah adalah sesuatu yang baku dan tidak bisa diubah-ubah.
Aqidah itu berdasarkan wahyu semata. Kita tidak bisa menetapkannya kecuali dengan dalil syar’i dan tidak ada medan ijtihad di dalamnya. Generasi salaf terdahulu dalam mengambil aqidah, terbatas hanya dari Alquran dan Assunnah.
Apabila di dalam pembahasan fiqih terdapat medan ijtihad, maka di dalam pembahasan aqidah sama sekali tidak ada kesempatan untuk berijtihad. Para Rasul bisa saja membawa syari’at agama yang berbeda, namun aqidah yang mereka ajarkan, semuanya sama. Kita juga tidak akan menemui perbedaan dalam aqidah dari empat imam mahdzab, begitu juga ‘ulama ahlussunnah setelah mereka; padahal dalam perihal fiqih, begitu banyak perbedaan di antara mereka.
Jelas dan nyatanya aqidah mereka serta jauhnya aqidah mereka dari hal-hal yang samar.
Aqidah itu jelas, gamblang dan mudah untuk dipahami. Aqidah itu mudah untuk dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat dan bukan khusus hanya untuk dipelajari oleh orang-orang yang pandai berfikir. Apabila terdapat yang samar-samar, maka itu bukanlah aqidah. Pelajarilah aqidah karena hukumnya adalah fardu ‘ain.
Mereka mampu mengambil pelajaran dari orang-orang yang sesat dalam beraqidah.
Orang yang sukses adalah orang yang mampu mengambil pelajaran dari orang lain, baik itu dari orang yang telah berhasil maupun yang telah gagal. Kesuksesan dalam menjaga aqidah adalah ketika seseorang mampu mengambil pelajaran dari orang yang sesat dalam beraqidah. Pelajarilah kesalahan-kesalahan dari orang-orang yang telah sesat dalam beraqidah, sehingga kita dapat menghindari kesalahan-kesalahan itu. Betapa banyak orang yang cerdas, namun dia jatuh kepada kesesatan, maka apalagi kita yang kecerdasannya dipertanyakan.
Persatuan
Berbeda pendapat dalam fiqih adalah sesuatu yang wajar dan tidak masalah, namun jangan sampai, karena perbedaan itu, hati menjadi berpecah belah. Perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin dapat membuat orang yang benar aqidahnya menjadi menyimpang. Hendaknya kita menghilangkan segala prasangka buruk tatkala timbul beberapa perbedaan. Walaupun kita melepaskan keyakinan kita terhadap suatu pendapat untuk mencegah perpecahan, maka itu lebih mulia. Para ‘Ulama memiliki berbagai perbedaan yang besar dalam pendapat-pendapat mereka, namun hati mereka tetap satu. Allah Ta’ala berfirman
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk” (QS. Ali Imran: 103)
Wallahu a’lam bish-showab
Tabligh Akbar Lajnah Dakwah Medan
Ustadz Dr. Aspri Rahmat Azai, MA
Ahad, 11 Muharram 1439 H / 1 Oktober 2017 M
Masjid Dakwah USU, Medan
0 Komentar